Breaking News

Aneh Bin Ajaib, Pengadaan Buku Desa Masuk Tanpa Musrenbangdes

foto/Illustrasi

lpc-online-Langkat | Disinyalir tanpa proses penganggaran yang benar  alias aneh bin ajaib, pengadaan buku di 240 desa se-Kabupaten Langkat, beredar dengan harga Rp3 juta per desa atau setara Rp720 juta.

Informasi diperoleh, sebagian besar desa sudah membayar buku tersebut walau diduga pengadaannya tidak sesuai prosedur anggaran berlaku atau tanpa Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).

Hal ini dibenarkan salah satu pengurus Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) kecamatan yang minta namanya dirahasiakan, Senin (10/10/2022) kemarin.

Diterangkan dia, pengadaan buku desa tersebut, belum dibahas di Musrenbangdes untuk dialokasikan pada 2022, sehingga pihaknya belum bersedia menerima buku desa tersebut.

"Buku itu masuknya dadakan, walau ada perubahan RKP tapi anggaran tidak ada lagi, sehingga tak ditampung di APBDes 2022, tapi kalau dari awal ya bisa dimasukan, setelah ada musyawarah dengan masyarakat," ujar sumber dari ujung telepon.

Dia pun menilai, setiap kegiatan desa harus masuk dalam APBDes melalui rencana kerja pemerintah desa (RKPDes) setelah sebelumnya dilaksanakan Musrenbangdes.

"Karena tak masuk APBDes 2022, kami tak beranilah mengambil buku itu, pakai apa membayarnya?" ungkapnya.

Pun begitu, pihaknya juga tidak melarang pemerintah desa (Pemdes) lain untuk membeli buku tersebut.

"Masih di Kantor Camat bukunya,  saya tak menghalangi desa lain untuk mengambil buku itu, mungkin mereka ada anggaran lebih, tapi yang jelas sampai hari ini sepengetahuan saya belum dianggarkan," jelas kades yang dikenal energik ini.

Sebelumnya, Sekretaris Asosiasi Permusyawaratan Desa Nasional (ABPEDNAS) Kabupaten Langkat Reza Fahlevi, menilai, kalau ada pengadaan buku administrasi desa, tentu tidak layak dianggarkan, karena saat ini sudah sangat mudah untuk mencari referensi di internet.

"Saya pribadi belum mengetahui hal itu, tapi coba saya selidiki dulu, apa benar ada pengadaan buku administrasi desa tersebut. Namun kalau lah ada, seharusnya tidak prioritas, karena sekarang sudah terbuka, semuanya ada tentang peraturan dan lain-lainnya di internet," ungkapnya.

Dia pun memastikan, semua desa memiliki komputer dan laptop, sehingga tinggal cetak saja, karena anggaran untuk alat tulis kantor (ATK) sudah ada.

"Kan biaya ATK desa ada, kenapa harus beli buku lagi? Apalagi harganya sampai Rp3 juta, buku seperti apa itu?" tanya Reza heran.

Perlu diketahui, sambung Reza, APBDesa disusun berdasarkan Peraturan Desa tentang Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa).

Rancangan APBDesa harus dibahas dan disepakati antara Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
 
Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa, tahapan penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa), harus melalui musyawarah Desa  yang menjadi pedoman bagi pemerintah Desa menyusun rancangan RKP Desa dan daftar usulan RKP Desa, serta diverifikasi satuan kerja perangkat daerah kabupaten. 

Terkait pengadaan buku desa tersebut, penyedia atau rekanan disebut-sebut melakukan penggandaan serta memperjual belikan buku diduga tanpa izin.

Sehingga penyedia buku desa diduga melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 113 yang menyebutkan "Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (lp-01)
© Copyright 2024 - LPC-ONLINE.COM