Oleh : Dicky Suhendro
(Mahasiswa Fakultas Hukum Graha Kirana Medan/Jurnalis)
Wacana sistem Pemilihan Umum (Pemilu) Proporsional Tertutup mencuat ketika sekelompok elite politik menggugat sistem Pemilu Proporsional Terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut kerapkali menjadi perdebatan semua kalangan masyarakat, baik dari kalangan akademisi, maupun masyarakat awam sekalipun. Ada yang setuju, dan banyak pula yang tidak setuju dengan wacana itu.
Menurut penulis, Pemilu sistem proporsional tertutup digagas dengan harapan mengedepankan ideologi suatu Partai Politik. Kader-kader partai yang diutus menjadi wakil rakyat harus mampu membawa ideologi partainya masing masing.
Selain itu, fenomena gonta ganti partai oleh kader suatu partai dan tokoh dengan tingkat popularitas yang tinggi dalam mencalonkan wakil rakyat juga menjadi polemik di tubuh partai itu sendiri. Tentunya, akibat dari sikap inkonsistensi kader partai politik, sedikit banyak menghambat roda organisasi partai. Bahkan dengan sikap yang demikian dikhawatirkan dapat menimbulkan sikap kecemburuan kader, pragmatisme partai politik, dan ketidak baikan politik representasi.
Nah atas dasar pertimbangan itulah, Penulis berpendapat, jika pengajuan 'Judicial Review' oleh sekelompok elite politik ke MK merupakan langkah dan upaya yang sangat baik demi kemajuan demokrasi dan politik di Indonesia.
Namun, didalam menentukan sistem di Pemilu 2024 mendatang menjadi sistem proporsional tertutup harus lah diuji dengan berbagai pertimbangan diantaranya mengenai efektivitas proses Pemilu 2024, serta partai politik yang telah menentukan Bakal Calon Legislatif yang bukan kader partai.
Nah, apabila MK memutuskan Pemilu sistem proporsional tertutup, maka sedikit banyaknya akan mengganggu jalannya proses Pemilu 2024, serta menimbulkan banyaknya Bacaleg dari kader partai maupun bukan kader partai yang akan mundur karena tidak menempati nomor urut teratas.
Setidaknya untuk merubah sistem Pemilu butuh proses dan waktu yang panjang. Proses itu, baik dari perubahan peraturan internal partai politik, maupun upaya revisi perundang-undangan Pemilu.
Sistem Pemilu tidak ada yang Absolut dan sepenuhnya Ideal. Setiap sistem memiliki konteksnya masing-masing. Jadi, sistem Pemilu yang baik akan didapat sesuai dengan pengalaman interaksi politik, lintasan sejarah, serta situasi budaya.(*)
Social Header